Pendidikan
ENTREPREURSHIP Sebagai Jalan Keluar Untuk Anak Jalanan
Strategi utama memerangi pengangguran dan
kemiskinan sekaligus membangun kesejahteraan secara massal dan serentak
terletak dari seberapa banyak dan seberapa cepat kita bersama berhasil memiliki
manusia entrepreneur di seluruh Indonesia. Penciptaan UKM baru tidak cukup
hanya dengan melalui bantuan kredit murah bagi usaha kecil karena bila kredit
murah tersebut jatuh kepada pelaku yang tidak sanggup jadi manusia entrepreneur
maka upaya itu akan sia-sia. Berikut ini adalah sebuah berita dari media yang
sepatutnya membuat kita merenungkan kembali terobosan baru dalam mengembangkan
UKM baru di Indonesia.
Kredit macet 1.470.692 usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) di empat bank BMUN senilai Rp17,9 triliun. Empat bank BUMN itu
adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat
Indonesia Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (BTN). (berita tanggal 01 Oktober
2007 Portal Nasional-www.indonesia.go.id)
Bagaimana kita menyusun dan memadukan strategi
pembangunan manusia entrepreneur dengan berbagai strategi lain yang biasa
dilakukan? Bagaimana kita menyusun strategi pemberdayaan SDM dengan dukungan
fasilitas fisik, kebijakan serta stimulus finansial.
Fokus utama adalah memberdayakan sebanyak mungkin
anak bangsa sehingga sanggup menjadi manusia entrepreneur melalui pendidikan
dan pelatihan. Kebijakan, fasilitas dan program dibentuk dengan tujuan
membentuk manusia entrepreneur yang baru dan memfasilitasi manusia entrepreneur
yang telah belajar dan siap untuk bertumbuh.
Dukungan finansial atau stimulus finansial
diberikan kepada manusia entrepreneur yang sudah siap masuk ke dalam pasar.
Pendikan Entrepreneurship untuk Anak Jalanan
Komunitas anak jalanan jelas sangat membutuhkan
pendidikan entrepreneurship karena melalui pendidikan yang mampu membuat mereka
menciptakan kerja bagi diri sendiri akan menolong mereka keluar dari “jalanan”
dan menjadi warga masyarakat yang terhormat.
Mereka harus diberdayakan untuk sanggup menolong
diri sendiri sehingga dapat keluar dari lingkaran setan pekerjaan “tradisional”
mereka yaitu mengamen, mengemis, atau bahkan menodong demi mendapatkan uang.
Kebiasaan
mendapatkan uang dengan cara di atas secara tak sengaja menanamkan kepada
anak-anak tersebut bahwa kegiatan mereka di jalan lebih menguntungkan daripada
bersekolah karena belajar berarti tidak menerima uang. Belum lagi tuntutan yang
tinggi dari orangtua mereka untuk mendapatkan uang.
Kondisi
inilah yang melatarbelakangi Sahabat Anak untuk memperjuangkan hak-hak anak
jalanan di Jabodetabek, khususnya melalui pendidikan. Kelompok sukarelawan
Sahabat Anak terus berjuang dalam mendampingi anak-anak marjinal sejak tahun
1997. UCEC (Universitas Ciputra Entrepreneurship Center) merasa terhormat dapat
mendampingi Sahabat Anak untuk mengembangkan program-program pembelajaran
entrepreneurship berdasarkan pengalaman langsung (experiential learning) untuk
anak-anak jalanan. Tujuan utama pembelajaran atau pelatihan ini adalah
menginspirasi anak jalanan bahwa uang bisa didapat tanpa harus melakukan
pekerjaan “tradisional” mereka asalkan mereka berinovasi dan berjejaring.
Sejalan
dengan semangat melakukan inovasi dalam menangani kemiskinan, maka tahun ini
Sahabat Anak melakukan kampanye KADO (Karya Anak Indonesia) dengan tema “Aku
Berharga, Aku Berkarya”. Gagasan
kampanye ini didasarkan pada hak anak untuk terlibat dalam pembangunan dan tema
ini diwujudkan dalam bentuk proyek belajar entrepreneurship berkelompok. Setiap
kelompok terdiri dari sekitar 10 anak jalanan dan 5 kakak pembimbing (relawan).
Ditargetkan sekitar 500 anak marjinal dan 250 volunteer yang akan terlibat
dalam proyek ini dan UCEC akan bertindak sebagai konsultan program dan pelatih.
Setiap kelompok akan mendapatkan modal Rp 50,000 dan ditantang untuk melakukan
inovasi apakah itu dalam bentuk suatu karya berupa produk, aksi, atau pameran
namun harus mampu dijual. Program yang
akan berlangsung selama waktu dua bulan ini menggambarkan contoh praktis model
pemberdayaan di atas. Anak-anak marjinal diberdayakan melalui pengalaman
langsung ber”entrepreneur” dengan didampingi para relawan sebagai mentor
kemudian kegiatan ini diberikan wadah atau difasilitasi melalui dukungan
pelatihan dan program kampanye KADO. Uang senilai Rp 50.000 untuk tiap kelompok
disediakan untuk mendukung pemberdayaan dan program. Jadi uang tersebut tidak
dibagikan begitu saja tapi diinvestasikan untuk sebuah pengalaman belajar.
Proyek
kelompok ini sendiri diharapkan menjadi pencetus/motor semangat
entrepreneurship kepada anak-anak marjinal tersebut. KADO akan menjadi training
ground di mana anak-anak mengalami secara langsung bagaimana mengeksplorasi
pasar dengan kemungkinan mendapatkan profit, dengan cara yang berbeda dari yang
biasa dilakukan—pengalaman mendapatkan uang bukan dengan mengemis atau
mengamen, tetapi dengan kemandirian dan kreativitas yang ada pada dirinya.
Risiko gagal selalu ada, tetapi kecakapanentrepreneur dalam berinovasi adalah
melalui kesabaran dan ketahanannya (endurance) melalui proses.
Di
sinilah kita melihat titik terang untuk mematahkan lingkaran setan atau vicious
circle tadi. Pertama, kegiatan ini sangat berpotensi menjadi fondasi perubahan
pola pikir anak-anak jalanan untuk berinovasi mengatasi masalah kemiskinan.
Kedua, kehadiran role-model bagi anak-anak jalanan dalam penerapan semangat
entrepreneurship. Teladan tersebut bisa berasal dari para relawan pendamping
proyek ini dan bahkan anak jalanan yang berhasil menjadientrepreneur melalui
kampanye KADO ini. Maka, kita pun melihat entrepreneurship menangani masalah
kemiskinan tidak hanya sekedar menghasilkan keuntungan, tetapi lebih dari itu
berupa pemberdayaan manusia melalui pembaharuan pola pikir dan penajaman
kecakapan hidup (life skill) untuk bekerja keras, bertahan (endure), serta
berani menanggung risiko dalam proses inovasi.
Betapa
indahnya kelak saat gaung “Hari ini saya harus menerima uang” dalam pikiran
anak-anak marjinal ini berubah menjadi: “Saya dapat menghasilkan uang, dan saya
bangga!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar